Penyembuhan Luka dengan Madu



Pendahuluan
Perawatan luka saat ini berkembang sangat pesat. Konsep-konsep baru bermunculan seiring dengan ragam penelitian yang membahas faktor-faktor yang dapat mempercepat penyembuhan luka. Sejak ditemukannya konsep “moisture” oleh George Winter pada tahun 1962 productpun mengembangkan balutan dengan konsep lembab seperti hidrokoloid, hidrogel, hidrocelulosa dan lain-lain yang disebut dengan modern atau advanced dressing. Hal ini sangat membantu pasien-pasien luka dengan memperpendek hari rawat atau mempercepat penyembuhan.

Menurut Carvile K (1998) tujuan utama pemberian balutan pada luka adalah menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyembuhan. Tidak ada satu jenis dressing yang cocok untuk semua luka atau semua orang. Sehingga pemilihan dressing ditentukan berdasarkan pengkajian sesuai kebutuhan pasien dan jenis lukanya. Penggunaan dressing untuk perawatan luka sudah mengarah pada satu gerakan yang didasarkan pada pengukuran biaya untuk penggunaan dressing. Hal ini dapat ditunjukkan bahwa tidak semua pasien dapat menggunakan advandce dressing karena harga setiap product yang cukup tinggi. Hal ini menuntut kita untuk dapat menentukan balutan yang paling tepat dan sesuai bagi klien dan perlu diketahui apa permasalahan klien dalam penyembuhan luka tersebut, termasuk masalah ekonomi.

Beberapa tahun terakhir telah banyak penelitian dilakukan untuk mencari bahan alamiah lain yang dapat digunakan sebagai alternative dressing luka antara lain madu, papaya dan aloe vera. Bahan-bahan ini murah dan mudah didapatkan di daerah atau dipelosok Indonesia. Namun pada kesempatan ini akan diuraikan salah satu alternative dressing yaitu madu dan mengapa madu dapat menjadi dressing yang menakjubkan.

Penanganan luka infeksi dengan madu sudah digunakan sejak 2000 tahun sebelum bakteri penyebab infeksi diketahui. Baru-baru ini, dilaporkan bahwa madu memiliki efek inhibitor terhadap 60 jenis bakteri termasuk aerob dan anaerob, gram positif dan gram negative, anti jamur; aspergillum dan penicilium termasuk bakteri yang resisten terhadap antibiotik. Dari data diatas sayang rasanya bila madu tidak dijadikan salah satu pilihan dressing luka.

Apakah madu itu?

Madu adalah larutan gula dengan saturasi tinggi yang dihasilkan oleh lebah. Lebah madu (Apis melifera) mengumpulkan cairan dari sari bunga yang disebut nectar dan di bawa ke sarang lebah. Di dalam sarang, lebah madu menambahkan enzim ke nectar dan menempatkannya dalam wadah hexagonal yang mematangkan menjadi madu. Selama pematangan enzim merubah sucrose menjadi glukosa dan fruktosa. Madu mengandung glukosa 40%, air 20% dan asam amino.

Madu tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah mineral seperti magnesium, kalium, potasium, sodium, klorin, sulfur, besi dan fosfat. Madu juga mengandung vitamin B1, B2, C, B6 dan B3 yang komposisinya berubah-ubah sesuai dengan kualitas madu bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi lebah. Di samping itu di dalam madu terdapat pula tembaga, yodium dan seng dalam jumlah yang kecil, juga beberapa jenis hormon.

Mengapa Madu ?

Madu yang mengandung berbagai macam zat yang dapat membantu penyembuhan luka mempunyai : osmotic effect, hydrogen peroxide, phytocemical component, lymphocyte & phagocytic activity dan anti microbial potency.

1. Osmotic effect

Madu meliliki efek osmotic yaitu memiliki osmolaritas yang cukup untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Madu merupakan cairan yang mengandung glukosa dengan saturasi yang tinggi yang mempunyai interaksi yang kuat terhadap molekul air. Kekurangan kadar air dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Dari penelitian telah dtemukan bahwa luka yang terinfeksi dengan staphylococcus aureus dan diberi madu luka menjadi steril.

Kandungan anti bacterial madu pertama kali dikenalkan oleh Van Ketel tahun 1982. The antibacterial property of honey was first recognised in 1892 by Van Ketel. Hal ini diasumsikan bahwa efek osmotic dihasilkan oleh kandungan gula yang tinggi di dalam madu. Madu, seperti larutan gula lainnya; syrup, memiliki osmolaritas yang cukup untuk menghambat bakteri. Madu juga telah menunjukkan pada luka yang terinfeksi staphylococcus aureus dapat dengan cepat diubah menjadi steril .

Bukti kandungan antibakteri pada madu meningkat bila diencerkan setelah di teliti dan dilaporkan pada tahun 1919. Penjelasan ini berasal dari penelitian bahwa madu mengandung enzim yang memproduksi hydrogen peroksida ketika diencerkan.

2. Hydrogen peroxide activity

Ketika madu diencerkan oleh cairan eksudat luka, hydrogen peroksida di keluarkan melalui rekasi enzim glucose oxidase. Cairan ini dikeluarkan secara perlahan untuk menyediakan aktivitas antibacterial namun tidak merusak jaringan.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa hydrogen peroxide mempunyai efek kurang baik untuk jaringan, akan tetapi hydrogen peroxide yang terkandung dalam madu adalah berkisar 1 mmol/l atau 1000 kali lebih rendah dari 3% cairan yang umum dipakai sebagai antiseptic dan masih efektif sebagai antibacterial dan tidak merusak sel fibroblast. Efek dari hydrogen peroxide yang bersifat merusak dapat dikurangi karena madu mempunyai anti oksidan yang dapat membersihkan radikal oksigen bebas. Selain itu madu juga menonaktifkan zat besi sebagai katalisator

Penelitian pada binatang didapatkan bahwa madu dapat menurunkan inflamasi dibandingkan jenis lain pada luka bakar dalam dan luka bakar superfial dan luka derajat full thickness.

Meskipun kadar hydrogen peroksida sangat rendah namum masih efektif sebagai antimikroba. Hal ini telah dilaporkan bahwa hydrogen peroksida lebih efektif bila diberikan secara terus menerus. Sebuah penelitian pada E. Coli untuk mengetahui aliran hydrogen peroksida yang ditambahkan secara constan, menunjukkan bahwa pertumbuhan bakteri dapat dihambat oleh 0,02 – 0,05 mmol/l hydrogen peroksida, concentrasi tersebut tidak merusak sel fibroblast pada kulit manusia.

3. Phytochemical component

Pada beberapa pengobatan madu dengan katalis untuk mengeluarkan aktivitas hydrogen peroksida, selain itu factor antibacterial nonperoksida juga diidentifikasi. Manuka (Leptospermum scoparium) honey juga telah ditemukan substansi dari aktivias antibacterial non perioksida. Penemuan ini terjadi karena masih banyaknya komponen phytocemical yang tidak teridentifikasi, sehingga penyelidikan terhadap kandungan phytocemical madu akan tetap dilanjutkan.

Penelitian yang serupa telah ditemukan madu yang mengandung spesies leptospermum yang tidak teridentifikasi di Australia, ‘jellybush’ [C. Davis, Queensland Department of Primary Industries: personal communication].

4. Increased lymphocyte and phagocytic activity

Dalam kultur sel ditemukan adanya proliferasi limposit B dan limposit T pada darah perifer yang distimulasi oleh madu dengan konsentrasi 0,1%; pagosit diaktifkan oleh madu pada konsentrasi 0,1%. Pada konsentrasi 1 % madu juga menstimulasi monocyte dalam kultur sel untuk mengeluarkan cytokine, tumor necrosis factor (TNF)-alpha, interleukin(IL)-1 dan IL-6, dimana mengaktifkan aktifitas respon imun terhadap infeksi.

Sebagai tambahan, madu juga mengandung glukosa dan PH asam (antara PH 3 dan PH 4) yang dapat membantu membunuh bakteri oleh macrophage, madu sebagai terapi untuk luka mempunyai beberapa segi kebaikan ; memudahkan pengangkatan balutan ; mempertahankan kelembaban sekitar luka.

5. Anti-bacterial potency

Madu dihasilkan dari berbagai sumber sari bunga berbeda dan menjadi antimikroba yang asli dan olahan. Dioscorides (c.50 AD) menyatakan bahwa madu kuning pucat dari Africa yang terbaik; Aristotle (384-322 BC), ketika mendiskusikan perbedaan madu, menunjukkan bawha madu yang berwarna pucat baik untuk salep mata dan luka.

Kemudian sebuah survey terhadap 345 samples madu New Zealand dari 26 sumber bunga yang berbeda ditemukan jumlah yang besar dengan aktivitas rendah (36 % sampel mempunyai aktivitas mendekati atau dibawah kadar). Selain itu hasil survey yang tidak dipublikasikan, 340 sampel madu Australia dari 78 sumber bunga yang berbeda ditemukan 68,5% memiliki dibawah kadar yang dibutuhkan.

Pada percobaan acak ditemukan pada luka eksisi dan skin graft menjadi baik dengan madu pada pengontrolan infeksi pada pasien luka bakar sedang.

Uji Klinis dan Laboratorium

Molan dalam artikelnya berjudul Honey as a tropical antibacterial agent for treatment of infected wounds dalam World Wide Wounds, 2001 menguraikan beberapa uji klinis tentang madu antara lain :

Pada suatu studi yang menggunakan madu pada Sembilan bayi dengan luka bedah infeksi yang luas yang gagal dengan antibiotic IV, dicuci dengan cairan 0,05% chlorhrxidine dan di balut dengan asam fusidic ointment. Secara klinis memperlihatkan peningkatan setelah 5 hari menggunakan madu, dan seluruh luka tertutup, bersih dan bebas dari infeksi setelah hari ke 21 penggunaan madu.

Pada percobaan acak dengan kelompok kontraol, 26 pasien dengan luka infeksi post operasi diterapi dengan madu dan 24 pasien lukanya di cuci dengan 70% etanol dan povidone iodine. Kelompok yang diterapi dengan madu dapat menghilangkan infeksi dan mencapai penyembuhan lebih cepat ½ kali di banding kelompok yang menggunakan antiseptic.

Percobaan kllinis yang membandingkan madu dengan silver sulfadiazine ointment pada luka bakar derajat II. Dari keduanya menunjukkan bahwa madu memberikan control infeksi yang lebih baik.

Luka infeksi oleh Pseudomonas, tidak ada respon dengan terapi lain, terjadi pembersihan infeksi cepat dengan menggunakan madu.

Pada pasien dengan luka infeksi yang bakteri yang resistant, tidak ada respon terapi antibiotic, hasil baik dicapai setelah 5 minggu perawatan dengan madu. Bakteri yang mengenfeksi luka yang ditemukan resisten terhadap ampicilin, oxytetracycline, gentamicin, chloramphenicol dan cephadine. Luka yang terinfeksi MRSA juga dapat diatasi infeksinya dan sembuh menggunakan balutan madu termasuk leg ulcer, luka berongga akibat haenatom dan luka operasi.

Kondisi luka bagaimana madu digunakan?

Madu biasanya digunakan sebagai topical antibacteri untuk penanganan infeksi pada tipe luka yang luas seperti : Leg Ulcers, Pressure ulcers, Diabetic foot ulcers, Luka infeksi akibat kecelakaan atau pembedahan dan luka bakar. Madu lebih efektif digunakan bila kondisi luka yang sesuai dengan kemampuan madu itu sendiri. Pada leg ulcer akan efektif digunakan bila sudah terjadi luka kronis, atau dengan eksudat yang banyak khususnya venous ulcer. Untuk pressure ulcers, madu efektif bila luka dalam kondisi eksudat banyak, slough namun kurang efektif untuk luka nekrotik, demikian pula untuk luka diabetic. Luka infeksi akibat pembedahan atau kecelakaan sangat baik diberi madu karena madu mempunyai efek osmolaritas, antimicrobial dan pythocemical yang dapat menginhibisi kuman. Sedangkan luka bakar yang dapat didukung proses penyembuhannya oleh madu adalah luka bakar suferficial dan full thickness karena dapat menurunkan proses inflamasi.

Bagaimana Cara Penggunaan madu pada luka?

Tips umum penggunaan madu pada luka antara lain :

1. Jumlah madu yang digunakan tergantung dengan jumlah cairan exudates luka. Eksudat yang banyak memerlukan jumlah substansi madu untuk dipakai.

2. Frekuensi penggantian balutan tergantung seberapa cepat madu diencerkan oleh eksudate. Sebaiknya tidak sering diganti untuk memungkinkan madu memulai bekerja dalam proses penyembuhan luka.

3. Balutan tertutup membantu untuk mencegah keluarnya ozon madu keluar dari luka

4. Sebaiknya madu di ratakan pada balutan (impregnated) lalu ditempelkan pada luka daripada madu ditempelkan langsung ke luka.

5. Untuk luka dengan eksudate yang banyak, secondary dressing dibutuhkan untuk menampung rembesan madu yang encer dari primary dressing.

6. Madu aman dimasukkan kedalam luka yang berongga dan bersinus, karena madu merupakan cairan yang dapat larut dan mudah dibilas keluar; beberapa endapannya tidak menjadi benda asing bagi tubuh (bio degradable)

7. Madu dapat di impregnated dengan alginate.

8. Balutan madu yang digunakan melebihi pinggir luka

Kesimpulan

Pemilihan balutan sebaiknya menggunakan berbagai pertimbangan sebelumnya. Perawat harus mampu mengetahui balutan apa yang cocot bagi pasien dan persoalam apa yang dihadapi pasien (termasuk masalah ekonomi). Penggunaan madu dapat dijadikan pillihan, selain madu lebih murah, juga mempunyai efek yang baik bagi luka karena dapat memfasilitasi luka sehingga lingkungan di sekitar luka menjadi kondusif bagi penyembuhan luka. Kandungan madu yang dapat menjaga lingkungan kondusif bagi luka antara lain high osmolarity, dapat mengeluarkan hydrogen peroxide, anti bakteri, komponen phytocemical, dan dapat meningkatkan limposit T, limposit B serta meningkatkan kerja pagosit.

Madu dapat di aplikasikan pada banyak jenis luka, namun perlu dipertimbangkan fungsi madu dan bagaimana efek kerjanya pada luka. Misalnya luka derajat I tidak akan efektif oleh madu, madu juga tidak memiliki efek langsung terhadap luka necrotic.

Madu mengandung banyak manfaat bagi penyembuhan luka, namun tidak semua jenis madu dapat memiliki kandungan yang sama tergantung jenis dan sumber makanan yang dimakannya. Dan menurut penelitian madu yang berwarna kuning pucat yang terbaik.

Referensi

1. Carvile K. Wound care manual. 3rd ed. St. Osborne Park: The Silver Chain Foundation ; 1998

2. Molan PC. Honey as a tropical antibacterial agent for treatment of infected wounds. World Wide Wounds. 2001

3. Molan PC. The antibacterial activity of honey. 1.The nature of the antibacterial activity. Bee World 1992; 73(1): 5-28.

4. Ngan V. Honey.Waikato Honey Research Unit

5. Suriadi. Manajemen luka. Pontianak: Stikep Muhammadiyah; 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

share